Memaknai Fenomena Gerhana Bulan



MEDIA SANTRI - Apa yang terlintas di benak kebanyakan orang ketika disebut kata “ibadah”? Barangkali yang paling dominan adalah bayangan tentang seseorang mengerjakan shalat, puasa, haji, dzikir; mengenakan mukena, berhijab, baju koko, peci, dan gambaran kegiatan formal dan aneka atribut lainnya. Bayangan tersebut tidak sepenuhnya salah. Meskipun, kebanyakan melupakan jenis ibadah lain yang sangat penting, tidak terlihat, namun bernilai tinggi di sisi Allah ﷻ. 

Ibadah apakah itu? Yakni berpikir atau tafakur. Akal merupakan karunia terbesar Allah kepada manusia yang membedakannya dari semua binatang dan benda-benda mati. Nyaris semua kemampuan fisik yang dimiliki manusia, juga dipunyai binatang—bahkan binatang bisa lebih andal dalam hal-hal tertentu. Hanya saja, sehebat apa pun kapasitas binatang, ia tetap tidak akan mampu menciptakan peradaban agung lantaran tak mempunyai akal sebagaimana dimiliki manusia.

Dengan demikian, pantaslah manusia (al-insân) selalu didefinisikan sebagai hayawân nâthiq, yakni hewan yang berpikir. Akal atau pikiran adalah kunci pembeda. Hilangnya fungsi akal pada diri manusia berarti menutunkan derajatnya selevel dengan binatang, atau bahkan lebih rendah.

Al-Qur’an sendiri menyebut para ahli neraka yang tak mau menggunakan akal, mata, dan telinganya untuk merenungkan ayat-ayat Allah sebagai himbauan untuk berpikir, merenung, atau mendayagunakan akal tersebar banyak dalam Al-Qur’an. Redaksinya pun bermacam-macam, ada yang menggunakan akar kata fikr, dzikir, aql, fiqh, ‘ilm, nadhar, dan albâb. Seluruhnya menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan potensi akal manusia. Karena itu pula, merenungi ciptaan Allah bisa lebih utama dibanding ibadah sunnah semalaman.

 Gerhana bulan merupakan bagian dari fenomena alamiah. Namun, di balik itu ada kekuatan besar yang tampak ketika kita mau merenunginya. Gerhana bulan terjadi saat sebagian atau keseluruhan penampang bulan tertutup oleh bayangan bumi. Peristiwa tersebut berlangsung bila bumi berada di antara matahari dan bulan pada satu garis lurus yang sama—saat itu cahaya Matahari tidak dapat mencapai bulan karena terhalangi oleh bumi.

Fenomena alam ini mengindikasikan bahwa bumi, bulan, matahari, serta seluruh tatanan angkasa bergerak sesuai garis orbit sebagaimana sunnatullah. Keteraturan dan keharmonisan ini menandakan bahwa Allah Maha Mengatur. Kehebatan fakta astronomis ini sukar disangkal lantaran mustahil manusia mengintervensi fenomena gerhana. Berbeda dengan fenomena biologis tertentu, misalnya bibit tumbuhan yang bisa direkayasa, gerhana bulan adalah fenomena besar yang tak mungkin dikendalikan manusia. Kenyataan tersebut kian menegaskan kelemahan manusia sebagai hamba di hadapan Allah ﷻ.

Tidak heran bila Imam al-Ghazali dalam Al-Adab fid Din menyerukan seyogianya fenomena gerhana membuat orang semakin menampakkan ketundukan diri kepada Allah ﷻ, bertobat dari kesalahan-kesalahan, serta semakin meresapi kehadiran Ilahi dalam kehidupannya. Secara rinci, beliau berujar:

آداب الخسوف: دَوَامُ الْفَزَعِ، وَإِظْهَارُ الجَزَعِ، وَمُبَادَرَةُ التَّوْبَةِ، وَتَرْكُ المِلَلِ، وَسُرْعَةُ القِيَامِ إِلَى الصَّلَاةِ، وَطُوْلُ القِيَامِ فِيْهَا، وَاسْتِشْعَارُ الحَذَرِ

"Perilaku yang semestinya ditunjukkan saat terjadi gerhana bulan: senantiasa memiliki rasa takut, menampakkan rasa gelisah, segera bertobat, tidak bersikap mudah bosan, segera melaksanakan shalat, berlama-lama dalam shalatnya, dan merasakan adanya peringatan.”

Bagi Imam al-Ghazali, peristiwa gerhana adalah momen merenungi keagungan Allah yang Mahaagung. Kedahsyatan kekuasaan-Nya yang berhasil dihayati selanjutnya akan mengondisikan kalbu untuk selalu merendah di hadapan-Nya, gelisah dengan dosa-dosa, betah dalam upaya mendekatkan diri, lalu berlanjut dengan memperbanyak istighfar alias memohon ampun kepada Allah.

Gerhana adalah bagian dari ayat kauniyah Allah, di samping ayat qauliyah berupa Al-Qur’an. Di dalamnya ada ilmu yang melimpah. Beruntunglah bagi orang-orang yang mau merenungkan ayat jenis ini yang gejalanya ada di mana-mana dan kapan saja: di sekeliling atau bahkan di dalam diri kita sendiri, serta dalam tiap detak jantung dan tarikan napas. Kita beruntung masih dikaruniai kesadaran oleh Allah ﷻ untuk mau melaksanakan shalat gerhana ini secara berjamaah dalam kesempatan ini. 

Melaksanakan shalat dan mendengarkan khutbah adalah sebuah keutamaan. Namun, ada yang lebih utama dari ini, yakni meresapi hakikat femomena alam untuk kemudian semakin mendekatan diri kepada Allah ﷻ. 

Penulis    : Maulana Mujiarto Pangestu, S.Pd.
Editor      : Miftachurrochman Zain, S.Pd. (otw) 

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama